Senin, 02 Desember 2013

HENTENNA, Aneh Tapi Asyik

Beberapa tahun lalu saya membaca artikel tentang antenna ini, setelah sukses merakit antena Moxon waktu itu. Ini lebih menantang ketimbang Moxon, demikian kesan saya waktu itu. Tetapi entah kenapa hapir 4 tahun berlalu, antenna ini tidak juga terealisasi, sampai akhirnya minggu lalu (tepatnya 9 hari sebelum posting artikel ini) saya memulai merakitnya. Butuh waktu seminggu untuk menyelesaikannya, mulai dari mengumpulkan bahan, membuat konstruksi, matching dan finishing.

Akhirnya naik juga di QTH saya

Hentenna ditemukan oleh Tadashi Okubo JH1FCZ dan Someya JE1DEU di tahun 1970-an. Kedua penggemar radio amatir asal Jepang ini menyebutnya dengan Hen Antenna atau Hentenna. Hen dalam Bahasa Jepang berarti aneh, tidak umum. Keduanya mempopulerkan hasil karyanya untuk band 6 meter.

Saya mengikuti arahan yang dibuat oleh N. S. Harisankar VU3NSH yang artikelnya selengkapnya dimuat disini. Ukurannya menggunakan skala centimeter, sehingga mudah untuk mengikutinya. Hanya saja amatir radio asal India ini menggunakan flexy glass untuk supportnya. Saya memilih menggunakan pipa PVC, karena lebih mudah mencarinya di toko-toko bangunan.

Saya menggunakan brass rod dari Diamond F-23 bekas kesambar petir untuk feed poinnya, sedangkan badan antenna saya menggunakan pipa aluminium 3/8" selebihnya saya menggunakan klem untuk merekatkan brass rod ke pipa aluminium sebanyak 2 buah (agar mudah digeser-geser), lem panas (hot glue) untuk mempatenkan sekaligus melindungi semua koneksi dari cuaca.

Saya tidak perlu banyak ngecap, tetapi saya bisa gambarkan kalau antenna ini cukup memuaskan, tidak kalah dengan antenna buatan pabrik, meski hanya membutuhkan tidak lebih dari US $ 5 dalam pengerjaannya. Rata-rata teman mereport saya mengalami peningkatan yang signifikan (dari s9 ke 40db) dibandingkan antenna yang saya pergunakan sebelumnya, J-Pole Colinear 2 X 5/8 Lambda (bekas antenna Ring-O yang saya modifikasi) untuk ketinggian antenna yang sama.

Semoga bermanfaat. 
Thanks to : Tadashi Okubo, Someya and N. S. Harisankar.

Catatat : 
- Jarak dari ujung ke feed poin yang saya gunakan 23.5 Cm, bukan 25.2 Cm seperti pada skhema dalam blog N.S Harisankar. 
- Waktu seminggu karena saya menggunakan waktu luang dan menunggu mood.
- Dipasang mendatar (horizontal)  untuk mendapat polarisasi vertikal. Mungkin ini juga yang disebut aneh (Hen) oleh penemu.
- Banyak teman yang berminat dan minta untuk dibuatkan (untuk yang ini saya sarankan teman-teman untuk mencoba bereksperimen sendiri agar tahu tantanganya, heheh, akan terasa lebih asyik)
- Konon semakin besar diameter aluminium yang dipakai, bandwidth akan semakin lebar (perlu pembuktian)




Kamis, 17 Januari 2013

Ramai Ramai Salahkan Jokowi

Beberapa hari terakhir ini mata saya tertuju pada apa yang terjadi di Jakarta, ibukota negera kita tercinta, Indonesia. Kota yang menjadi ikonnya Indonesia ini kembali dikepung banjir. Juga seperti tahun-tahun sebelumnya, banjir kali ini hanya akan menyisakan penderitaan bagi warga yang mengalaminya. Konon banjir pada bulan Januari 2013 ini merupakan banjir terbesar yang pernah terjadi setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Hampir 1/2 kota jakarta terendam, dengan ketinggian air di beberapa tempat bahkan mencapai 3 meter.

Jokowi meninjau banir di Jakarta dengan gerobak (Sumber)

Dunia maya pun menjadi gempar, saling lempar kesalahan pun mewarnai komentar warga dalam setiap berita mengenai banjir Jakarta yang muncul di duina maya. Ada yang menyalahkan Fauzy Bowo atau Foke (Mantan Gubernur DKI) sebagai penyebab bencana ini terjadi. Konon Bang Kumis yang tidak menyiapkan infrastruktur yang benar pada masa dia menjadi pemimpin Jakarta.

Tetapi tidak kalah banyaknya yang menyalahkan Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI yang baru memimpin jakarta kurang dari 3 bulan ini. Menurut meraka, Jokowi dan pasangannya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) ternyata tidak mampu mengemban harapan masyarakat Jakarta untuk mengentaskan masalah klasik berupa banjir ini. Ada yang menuding gaya kepemimpinan Jokowi yang khas dengan blusukannya ini hanya pencitraan. Wacana-wacana yang digagas tidak membuahkan hasil. Buktinya, meski sudah mendekati 100 hari kepemimpinannya, banjir masih tetap mengepung separuh wilayah Jakarta.
 
Setiap orang boleh saja memberikan komentar apa, sesuai dengan kemampuan dia melihat dan menyikapi suatu keadaan. Tetapi timbul dalam hati saya sebuah pertanyaan, pantaskan kita menyalahkan pemimpin dalam bencana ini ? Lantas dengan menyalahkan, apakah persoalan akan teratasi ?

Kalau memang harus ada yang disalahkan, mustinnya warga Jakarta melihat diri sendiri dan bertanya kepada diri sendiri, apa yang sudah dilakukan oleh mereka secara individu untuk mencegah terjadinya banjir. Belum ada satu pun komentar dalam setiap berita di dunia maya yang menyalahkan diri sendiri sebagai penyebabnya, sekecil apa pun kontribusi yang diberikannya sebagai penyebab banjir ini terjadi. Belum ada sama sekali.

Mereka, penduduk Jakarta yang telah mendiami wilayah itu sejak berpuluh-puluh tahun seakan merasa bersih dari segala perilaku yang menyebabkan bencana bajir ini terjadi dan berulang terjadi. Sedangkan Jokowi yang baru memimpin kurang dari 3 bulan ditunut harus mampu menuntaskan persoalan ini, hingga tidak ada setetespun air menggenangi wilayah Jakarta. Kemana akal sehat mereka ? Seharusnya warga Jakarta mampu mendisiplinkan diri untuk berperilaku hidup bersih dan menjaga aliran-aliran sungai dari berbagai macam tindakan yang bisa membuat pendangkalan dan hambatan lain yang membuat air tidak lancar menuju laut. Bilamana hal tersebut telah dilakukan dengan benar, barulah warga boleh menyalahkan sang pemimpin.

Atau mungkin warga Jakarta menganggap Jokowi - Ahok adalah superman yang mampu mengubah wajah kota hanya dalam hitungan bulan ? Padahal seorang Jokowi harus menjalani beberapa tahapan dan mekanisme untuk membuat suatu terobosan kebijakan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan bencana tahunan ini. Ada tahap-tahap yang harus dijalani, ada ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi. Masyarakat Jakarta semestinya tahu itu. Kalau mereka menginginkan kota tempat mereka tinggal sekarang seperti Singapore, semestinya masyarakat Jakarta juga mampu meniru disiplin warga Singapore tanpa reserve.

Semestinya warga Jakarta menyadari seorang Jokowi hanya bertugas memanage atau mengelola sumber daya yang ada untuk mendukung apa yang dilakukan oleh warganya. Kalau tidak demikian, saya yakin siapapun Jokowi yang memimpin Jakarta, permasalahan banjir tidak akan pernah tuntas.
 
Tak iye ?